KKP Stop Tambang Pasir Laut PT Logomas Utama di Rupat, YLBHR: Presiden Merespon!


Riaubisa.com, Bengkalis - Yayasan Lingkungan dan Bantuan Hukum Rakyat (YLBHR) mengapresiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menindak tegas aktivitas tambang pasir laut PT Logomas Utama di perairan Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Senin (14/2/2022). 

Ketua YLBHR, Dempos TB, kepada riaubisa.com, Rabu (16/2/2022) menyatakan, langkah yang diambil KKP sesuai dengan laporan YLBHR. 

"Dalam laporan usai Tim kita bersama Ormas PETIR dan media ke lokasi, kita meminta pemerintah menutup segala aktivitas PT Logomas Utama. Izinnya ada, tapi tak sesuai lagi untuk dilanjutkan karena perubahan lingkungan yang sangat drastis. Ada pulau sekarang disitu, ada mangrove yang harus dilestarikan, ada Nelayan Jaring yang harus mencari nafkah, ada ikan dugong terdampar disitu, ada abrasi yang harus dijaga. Pemprov Riau dengan segala kemampuan instrumen pemerintahannya sudah lalai atau bisa jadi diduga sengaja tak memperhatikan perubahan ini semua," ungkap nya.

Dempos berharap, pemerintah benar-benar menghentikan aktivitas tanbang itu secara permanen. Pihaknya mengurai dalam laporan tersebut tentang sejumlah aturan yang dilanggar. 

"Ini menjadi peringatan keras bagi pihak lain yang coba-coba memuluskan mengeksploitasi dan hasil alam tanpa memperhatikan perubahan lingkungan dan ekosistem," tandas Dempos. 

Ditambahkannya, Presiden Jokowi sebelumnya sudah memperingatkan agar para Pemegang Izin Tambang yang tidak melakukan produksi untuk dievaluasi. 

"Nah, setelah peringatan keras dari Presiden itu, banyak pemain tambang mulai mengurus Rencana Kerja di Daerah. Tahun lalu, Pemprov menyetujui Rencana Kerja dan bahkab menerima uang jaminan reklamasi. Padahal, ada regulasi baru tahun 2019 dari Gubernur Riau mencadangkan kawasan itu sebagai Kawasan Konservasi. Aneh kan? Apa maunya Pemprov ini? Gubernur Riau harus evaluasi tuntas oknum-oknum yang memuluskan hal-hal semacam ini yang tidak memperhatikan perubahan lingkungan," ungkap Dempos. 

 

Seandainya, kata Dempos, Pemprov melakukan evaluasi dan verifikasi teknis dengan benar sebelum IUP dan Rencana Kerja dikeluarkan dan produksi dimulai, maka mungkin perusahaan ini dapat berbenah. 

"Sekarang,kabarnya Gubernur Riau merekomendasikan untuk dicabut izinnya oleh KemenESDM setelah mereka bayar Jaminan. 

Dilaporkan ke Jokowi 6 Desember 2021
Keterangan lebih rinci dikemukakan Sekretaris DPD YLBHR Riau, Nardo Pasaribu dalam kesempatan yang sama. Ia menyebut, laporan dilayangkan pada 6 Desember 2021 lalu. 

"Setelah kami ke lokasi tambang pada 20 November 2020 lalu, lalu pada 6 Desember 2021, kita sampaikan laporan ke Presiden, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Status laporan kita terkonfirmasi diterima," papar Nardo. 

Menurut Nardo, YLBHR melakukan kajian dan analisa setelah melakukan investigasi langsung dengan mengambil titik koordinat lokasi penambangan pada November 2021. Serta dikaji dengan dokumen perizinan yang ada. Dari kajian tersebut, YLBHR merumuskan rekomendasi agar aktivitas tambang pasir laut dihentikan. 

Nardo memulai paparannya dari kegiatan tambang tersebut tidak mengindahkan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut. 

"Inpres Nomor 2 tahun 2002 itu kuncinya. Wajib memperhatikan segala aspek, lembaga-lembaga terkait, terutama ekosistem perairan. Makanya kita laporkan ke Presiden," katanya. 

 

Amdal Tahun 1998 Tak Relevan Lagi
Menurut Nardo, persetujuan AMDAL tahun 1998 dijadikan acuan dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi PT. Logomas Utama oleh Pemerintah Provinsi Riau pada 2017. 

AMDAL tersebut, menurutnya, sudah tidak relevan lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. 

"Selama kurang lebih 22 tahun sejak mengantongi Kuasa Pertambangan, barulah PT. Logomas Utama beraktivitas. Tentu sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang," ujar Nardo. 

Berada di Jalur Pelayaran dan Pulau Terluar
Selain itu, lokasi penambangan juga bertentangan dengan Peraturan Menteri KKP Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sehingga dapat mengancam keberlanjutan pulau terluar. 

"Wilayah IUP Logomas Utama juga berada di jalur pelayaran Dumai, Sumatera, Indonesia) dengan Port Dickson, Malaysia," ungkap Nardo. 

Kurang dari 2 Mil Laut, Ia menambahkan, WIUP Logomas Utama diduga kuat berada dalam zona perlindungan. Yakni, kurang dari dua mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah perairan kepulauan atau laut lepas pada saat surut terendah. Sehingga melanggar   Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.33/MEN/2002 tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Pengusahaan Pasir Laut. 

Cadangan Kawasan Koservasi
"WIUP juga diduga berada dalam pencadangan kawasan konservasi sebagaimana terlihat pada peta lampiran Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.565/II/2019 tanggal 15 Februari 2019," ujar Nardo. 

Kawasan Hutan Produksi Terbatas
Lanjut Nardo, sebagian wilayah perizinan berada dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Dilihat pada lampiran Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : 903/MNLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 tanggal 7 Desember 2016 yang terletak di Pulau Babi Kecamatan Rupat Utara Kabupaten Bengkalis. 

"Keberadaannya dalam kawasan hutan menandakan WIUP berada di daratan. Sehingga tidak sesuai dengan komoditas batuan atau pasir laut yang diusahakan," tandas Nardo. 

Dikonfirmasi sejak Desember 2021 lalu usai investigasi lapangan, Direktur Utama PT Logomas Utama Arnold Sianipar dan pihak Legal Bryand Sianipar belum bersedia memberikan tanggapan. 

Kepala Dinas ESDM Riau Eva Refita sekaligus sebagai Kepala Dinas DPMPTSP yang saat itu mengeluarkan IUP PT Logomas Utama juga tidak berkomentar. (*)