WHO Sebut Covid-19 Takkan Hilang & Jadi Endemik

Foto : ist pikiran rakyat

Riaubisa.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada akhir tahun 2020, virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak akan hilang, tapi akan menjadi endemik. Maksudnya endemik adalah terus ada di sekitar manusia, di populasi global selama beberapa tahun dan menyebabkan wabah di suatu daerah. 

Hal ini pun diyakini oleh para ilmuwan yang bekerja di lapangan. Namun di sisi lain, ilmuwan juga percaya bahwa dampak Covid-19 pada dunia dalam hal kematian, penyakit, dan kebutuhan akan isolasi akan menurun seiring waktu.

Hal ini dapat terjadi karena nantinya banyak orang memperoleh kekebalan karena terinfeksi Covid-19 atau dari vaksinasi. Dilansir BMJ, 18 Februari 2021, yang dikutip dari kompas,  prediksi tersebut berasal dari survei yang dilakukan pada bulan Januari oleh jurnal Nature terhadap lebih dari 100 ahli imunologi, peneliti penyakit menular, dan ahli virologi yang menangani SARS-CoV-2. 

Data menunjukkan, hampir 90 persen responden mengatakan bahwa mereka memperkirakan virus corona akan menjadi endemik. Dan sepertiga responden berpikir bahwa ada kemungkinan untuk menghilangkan SARS-CoV-2 dari beberapa wilayah di dunia. 

"Meskipun akan ada risiko wabah Covid-19 di daerah-daerah, ini dapat dibendung oleh herd immunity. Yakni jika kebanyakan orang telah divaksinasi," kata Christopher Dye, seorang ahli epidemiologi di Universitas Oxford, Inggris. 

"Saya kira Covid akan hilang dari beberapa negara. Tapi ada risiko penyakit ini berkelanjutan dan mungkin musiman, terutama di tempat yang cakupan vaksin dan tindakan kesehatan masyarakatnya belum cukup baik," imbuhnya dalam wawancara dengan Nature. 

Covid-19 saat ini masih digolongkan dalam fase pandemi karena infeksi terus meningkat di seluruh dunia dan banyak orang masih rentan. Pada fase endemik, jumlah infeksi menjadi relatif konstan selama bertahun-tahun, dengan kambuh sesekali.

Antibodi dan infeksi ulang 

"Seiring waktu, Covid-19 bisa menjadi penyakit yang pertama kali ditemukan pada anak usia dini, dengan menyebabkan infeksi ringan atau tidak sama sekali (menimbulkan gejala)," kata Jennie Lavine, seorang peneliti penyakit menular di Emory University di Atlanta, AS, mengatakan kepada Nature.

Meski pertahanan itu akan berkurang dengan cepat dan tidak cukup untuk memblokir infeksi ulang sepenuhnya, itu bisa cukup untuk melindungi orang dewasa yang mengalami gejala parah. 

Para ilmuwan menganggap skenario ini mungkin karena cocok dengan empat virus corona endemik yang ada — OC43, 229E, NL63, dan HKU1 — tetapi belum diketahui secara pasti. Sebuah penelitian besar telah menunjukkan bahwa tingkat antibodi penetral mulai menurun setelah sekitar 6-8 bulan setelah terinfeksi SARS-CoV 2. 

Jika infeksi baru muncul, sel B memori dapat memproduksi antibodi dan sel T yang dapat menghilangkan sel yang terinfeksi virus, tetapi belum dipastikan apakah memori kekebalan ini dapat memblokir infeksi ulang virus. 

"Butuh waktu bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun untuk mencapai keadaan di mana cukup banyak populasi memiliki kekebalan yang cukup," imbuh Lavine. 

"Membiarkan virus menyebar tanpa terkendali akan menjadi cara tercepat untuk mencapai titik itu, tetapi itu akan mengakibatkan jutaan kematian, jadi jalur yang paling cocok adalah melalui vaksinasi," katanya.

Hasil pemodelan soal Covid-19 

Sebuah model yang dikembangkan oleh Alexandra Hogan di Imperial College London dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa jika ingin mencapai herd immunity, setidaknya 55 persen populasi di suatu wilayah harus mendapat vaksin yang punya efektivitas 90 persen. 
Namun, itu tetap harus menerapkan protokol menjaga jarak, memakai masker, dan banyak orang bekerja dari rumah. Sementara, jika ingin protokol jaga jarak ditiadakan, vaksin yang sama harus mencakup 67 persen populasi. 

Jika efektivitas vaksin yang dipakai kurang dari 90 persen dalam mencegah penularan virus, atau jika ada varian virus baru, persentase cakupan vaksinasi harus lebih besar lagi. 

Hasil studi preprint atau pracetak dari penelitian laboratorium menunjukkan bahwa antibodi penawar dalam darah orang yang telah terjangkit Covid-19 kurang mampu mengenali varian virus yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan (disebut 501Y.V2) dibandingkan varian yang beredar lebih awal dalam pandemi.

Lebih dari 70 persen peneliti yang disurvei oleh Nature percaya bahwa kemampuan untuk beradaptasi dan menghindari pertahanan kekebalan akan mendorong sirkulasi SARS-CoV-2 yang berkelanjutan. 
Akibatnya, vaksin yang diperbarui mungkin perlu dikembangkan dan diberikan, mungkin setiap tahun seperti vaksin flu. Dampak SARS-CoV-2 di masa depan juga akan bergantung pada seberapa baik virus itu berkembang dalam populasi hewan liar. 

Beberapa penyakit yang telah dikendalikan, termasuk demam kuning, Ebola, dan virus chikungunya, bertahan karena penampungan hewan. SARS-CoV-2 mungkin berasal dari kelelawar dan dapat dengan mudah menginfeksi banyak hewan, termasuk kucing, kelinci, dan hamster, dan sangat menular di cerpelai.