Eksekusi Lahan Tak Sah, MA Kabulkan Gugatan Hukum Warga Desa Gondai Pelalawan
Riaubisa.com, Pekanbaru - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan hukum eksekusi 3.323 hektare lahan milik ratusan warga Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau.
Putusan itu di register dengan Nomor 595 K.TUN/2020 yang disampaikan MA ke Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru (PTUN). Amar putusan tersebut sudah disampaikan panitera ke penggugat dan tergugat.
Dalam putusan itu tertulis penggugat PT Peputra Supra Jaya (PSJ) mewakili sejumlah koperasi yang didalamnya ada ratusan warga melawan eksekusi yang dilakukan oleh DLHK sebagai pihak tergugat.
Panitera PTUN Pekanbaru, Agustin, dikonfirmasi wartawan, Kamis (18/3/2021) membenarkan putusan tersebut dan sudah disampaikan baik kepada tergugat maupun penggugat.
"Saya sampaikan amar putusan, selanjutnya para pihak yang mengajukan salinan lengkapnya," kata Agustin.
Dia mengatakan, penggugat telah mengajukan surat permohonan eksekusi terhadap putusan tersebut. Kedua belah pihak katanya, akan dipanggil jika hakim sudah mengeluarkan surat eksekusi putusan.
"Hakim nantinya akan membacakan, apakah eksekusi itu sudah dilaksanakan atau belum," jelasnya.
Dari petikan putusan yang diterima wartawan, Ketua Majelis Hakim di Mahkamah Agung Dr Irfan Fachruddin membatalkan putusan PTUN Tinggi Medan yang menguatkan putusan PTUN Pekanbaru.
Petikan amar putusan MA ini juga menyatakan surat dinas untuk eksekusi lahan batal atau tidak sah. Kemudian mewajibkan DLHK mencabut surat tersebut.
"Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi PT Peputra Supra Jaya," kata Irfan dalam petikan itu.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan lahan seluas 3.323 hektare itu harus diuji keabsahan perizinan secara perdata dari kedua belah pihak dan kepemilikan di pengadilan.
Disebutkan lagi jika pengalihan kawasan hutan menjadi non hutan harus melalui pengajuan perizinan baru.
Diketahui, eksekusi oleh DLHK Riau dengan menebang sawit milik warga dan PT PSJ berlangsung sejak awal tahun lalu. Penebangan itu mendapat perlawanan dari ratusan warta karena menggantungkan hidup dari sawit bekerjasama dengan PT PSJ.
Saat eksekusi, lahan tersebut langsung diserahkan ke PT Nusa Wana Raya oleh DLHK Riau dan jaksa. Bahkan, lahan itu kemudian ditanami akasia. PT NWR merupakan perusahaan swasta yang memasok batang akasia ke PT RAPP, group dari APRIL.
Perlawanan itu berujung pada bentrokan antara warga dan polisi yang mengawal jalannya eksekusi. Beberapa warga juga mengalami luka dan ada pula yang ditangkap karena dituduh provokator.
Warga juga membangun tenda-tenda di lokasi sebagai bentuk perlawanan. Namun tetap saja tenda itu roboh setelah aparat dan alat berat milik dinas meratakan sawit dengan tanah.
Penebangan sawit itu sempat berhenti setelah sejumlah anggota DPR ataupun DPRD Riau turun ke lokasi. Penghentian eksekusi hanya beberapa bulan dan berlanjut, bahkan sampai tahun 2021.
Atas hal tersebut, Pengamat Hukum Universitas Muhammadiyah Riau, R Desril SH MH, mengatakan, dalam melakukan tindakan hukum atas suatu objek, harus berpijak pada proses hukum yang benar.
Disebutnya, ketika hak kepemilikan suatu objek diperselisihkan/dipersengketakan belum mendapatkan keputusan yang sah secara keperdataan, maka atas objek yang diperselisihkan tersebut tidak boleh dilakukan.
"Pihak-pihak yang melakukan eksekusi atau klaim kepemilikan atas objek tersebut tidak dibenarkan sebelum adanya keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde," ucap Desril.
Atas kasus itu dijelaskannya lagi, salah satu pihak harus mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat untuk membuktikan siapa yang berhak sebagai pemilik atas objek yang diperselisihkan.
"Gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri merupakan wujud dari hukum acara perdata yaitu peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim," terang Desril.
Menurutnya, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya atas suatu objek yang diperselisihkan.
"Intinya tidak bisa dilakukan eksekusi menebang sawit yang lagu produktif tanpa adanya putusan perdata. Kalau hal itu terjadi bisa dipidana dan perdatanya, pidana penyalahgunaan wewenang," jelas dia lagi.
Kuasa Hukum PT PSJ, Asep Ruhiat, saat di konfirmasi, belum memberikan keterangan perihal gugatan yang dimenangkan oleh PT PSJ yang mewakili warga Desa Gondai Pelalawan.
"Saya lagi bersidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Nanti dihubungi lagi," singkatnya.